Waktu Yang Berhenti

Sepertinya baru saja aku jatuh tertidur lelap, tiba-tiba sesuatu memaksa kesadaranku harus bangun.

Dari balik penglihatan mataku yang masih remang-remang, terlihat jam di dinding masih menunjuk pukul 02.00 dini hari. Di sampingku, kulihat istri dan kedua kecilku masih terlelap tidur diperaduannya. Kucoba untuk kembali tidur, namun yang terjadi aku kembali terbangun sesaat kemudian.

Setelah sekian lama mencoba tertidur tanpa hasil, kuniatkan saja untuk melakukan sholat malam. Kupikir-pikir, sudah lama aku tidak menjalankannya, dan biasanya ibadah tersebut terasa nikmat apabila lama tidak menjalankannya.

Dalam keheningan malam yang dingin, kujalankan ibadah sholat tahajud dengan sekhusyu’ mungkin. Tidak ada hal yang luar biasa yang terjadi saat menjalankan sholat tahajud. Setelah sholat, tak lupa kupanjatkan doa untuk rejeki, kesehatan.... serta doa keselamatan bagi keluarga dan anak-anak. Mendoakan anak-anak.......

Sesaat tenggelam dalam doa, justru aku yang bertanya-tanya – seberapa sering aku mendoakan anak-anakku – darah dagingku sendiri. Sedemikian sering aku melupakan mereka di saat aku di bekerja kantor, mengejar progres kerjaku, dan di saat aku melepas lelah. Seberapa banyak, aku telah mengajarkan bekal agama untuk mereka dewasa nanti. Seberapa sering aku menyediakan waktu khusus di saat mereka ingin mengajak bermain dengan ayahnya. Jawabnya, aku jarang – hampir tidak pernah. Kuakui, aku TERLALU EGOIS untuk melakukan itu semua.

Teringat, sebuah acara di TV yang menyiarkan wawancara antara penyiar berita dengan salah satu orang tua dari remaja pelaku teror bom bunuh diri Mega Kuningan yang menewaskan 9 korban tak bersalah beberapa waktu yang lalu. Bagiku, cukup tragis bagi seorang ibu mengetahui kenyataan bahwa sang anak kesayangan yang selama ini dianggap sebagai anak baik-baik, tega mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.

Apakah itu salah didik dari orang tua? Kukira tak ada satupun orang tua yang mendidik anak untuk menjadi teroris terlebih lagi mendidik mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Akibat salah pergaulan? Jawabnya, 95% dipastikan benar. Tapi yang menjadi pertanyaan apakah sebagai orang tua mendampinginya kemana dia pergi atau harus mengawasi anak-anaknya selama 24 jam secara terus menerus hingga mereka dewasa?

Memang sebagai orang tua, kurasa kita harus pasrah untuk menyerahkan nasib anak-anak kita kepada Tuhan. Biarlah Tuhan Yang Maha Kuasa, mengatur segalanya baik-buruk mereka. Namun aku perlu bertanya, seberapa seringkah kita mendoakan untuk kebaikan anak-anak kita? Mendoakan agar mereka dapat selamat dunia dan akhirat?

Tuhan telah menitipkan hambaNya agar menjadi anak kita selama hidup di dunia. Kewajiban sebagai orang tua, hanya memberi nama yang baik, menyelenggarakan aqiqah, menikahkan mereka jika sudah waktunya, dan mendidik mereka dengan aqidah dan budi pekerti yang baik. Dua kewajiban pertama sudah kujalankan sesuai keyakinan, satu kewajiban lain belum bisa dilaksanakan karena memang belum waktunya. Namun terdapat satu kewajiban yaitu mendidik anak yang seharusnya dapat kulaksanakan ini, yang memaksakuku kembali bertanya apakah selama ini telah kujalankan kewajiban ini dengan benar.

Di keheningan malam yang dingin, waktu harus kuhentikan untuk sesaat. Kulakukan agar aku bisa mengingat-ingat semua hal yang pernah aku perbuat selama ini. Sehingga di saat waktu yang berhenti aku bisa menanyakan pada diriku sendiri, ayah macam apa aku selama ini?



Hanya ini yang bisa kupersembahkan.... untuk mengenang ayahku (14 Agustus 1938 – 11 Juni 1996)

Tidak ada komentar: